PRINSIP
KONTEKSTUAL, FUNGSIONAL, INTEGRATIF DAN APRESIATIF
RESUME
DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
PENGEMBANGAN
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SD
DOSEN PENGAMPU : UMAR SAMADHY
Oleh
1.
ANTONIUS TRISANTO TUKAN (
1401413639 )
2.
RASMINI ( 1401413606 )
3.
RASVIA SUKMA (
1401413617 )
PPGT 2013
PGSD
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
PRINSIP KONTEKSTUAL, FUNGSIONAL,
INTEGRATIF DAN APRESIATIF
1.1 Prinsip Kontekstual
1.1.1 Pengertian Prinsip
Kontekstual
Purnomo (2002:10)
mengungkapkan bahwa kontekstual adalah pembelajaran yang dilakukan secara
konteks, baik konteks linguistik maupun konteks nonlinguistik. Sementara
Depdiknas (2002:5) menjelaskan bahwa pembelajaran kontekstual adalah
pembelajaran yang mengaitkan materi yang diajarkan dengan dunia nyata peserta
didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya,
dijelaskan pula bahwa pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen untuk
pembelajaran efektif, yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat
belajar, pemodelan, dan penilaian sebenarnya.
Pembelajaran
kontekstual merupakan proses pembelajaran yang holistic dan bertujuan membantu
siswa kelas untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya
terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan
kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan atau keterampilan yang dinamis
dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
Sampai saat ini, pendidikan di
Indonesia masih didominasi oleh kelas yang berfokus pada guru sebagai utama
pengetahuan, sehingga ceramah akan menjadi pilihan utama dalam menentukan
strategi belajar. Sehingga sering mengabaikan pengetahuan awal siswa. Untuk itu
diperlukan suatau pendekatan belajar yang memberdayakan siswa. Dalam
konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status
apa mereka dan bagaimana mencapainya.
Melalui pembelajaran kontekstual,
siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya
nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang
memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan
berusaha untuk menggapainya. Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah
membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan
strategi daripada member informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah
tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses
belajar mengajar lebih diwarnai Student centered daripada teacher
centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Mengkaji konsep atau
teori yang akan dipelajari oleh siswa.
b. Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa
melalui proses pengkajian secara seksama.
c. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa
yang selanjutnya memilih dan mengkaitkan dengan konsep atau teori yang akan
dibahas dalam pembelajaran kontekstual.
d. Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau
teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki
siswa dan lingkungan hidup mereka.
e. Melaksanakan penilaian terhadap
pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap rencana
pemebelajaran dan pelaksanaannya.
1.1.2 Komponen Prinsip Kontekstual
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Dalam
teori konstruktivisme dijelaskan bahwa struktur pengetahuan dikembangkan oleh
otak manusia melalui dua cara, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi maksudnya
struktur pengetahuan baru dibangun atas dasar pengetahuan yang sudah ada.
Sementara itu, akomodasi adalah struktur pengetahuan yang sudah ada
dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan hadirnya pengalaman baru.
Bagaimana pelaksanaannya di kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia
sehari-hari adalah dapat diwujudkan dalam bentuk peserta didik disuruh
menulis/mengarang dan atau bercerita di depan kelas.
Konstruktivisme berakar pada
filsafat pragmatisme yang digagas oleh John Dewey pada awal abad 20 yang lalu.
Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar
tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu
proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental membangun
pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuan yang dimilikinya.
Dalam proses pembelajaran, siswa
membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses
pembelajaran (Wina Sanjaya : 2006). Menurut Suparno (1997:49 ) secara
garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah :
- pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial;
- pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan kearifan siswa sendiri untuk bernalar;
- siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah;
- guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
2. Menemukan (Inquiry)
Komponen inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan
pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh
peserta didik bukan hasil mengingat seperangkat fakta, melainkan dari hasil
menemukan sendiri. Kegiatan inkuiri dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut.
a. Merumuskan masalah
b. Mengamati/melakukan observasi
c. Menganalisis dan menyajikan hasil
d. Mengkomunikasikan kepada pembaca
3. Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran
berbasis kontekstual. Tujuan bertanya adalah untuk menggali informasi,
mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian kepada
aspek yang belum diketahuinya. Kegiatan bertanya dapat diterapkan dalam bentuk
ketika peserta didik berdiskusi, bekerja dalam kelompok, menemui kesulitan,
mengamati sesuatu. Kegiatan bertanya ini dapat dilakukan antara sesama peserta
didik, guru dengan peserta didik, peserta didik dengan guru, peserta didik dengan
nara sumber. Kegiatan bertanya berguna untuk :
1) menggali informasi,
2) menggali pemahaman siswa,
3) membangkitkan respon kepada siswa,
4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa,
5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa,
6) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru,
7) membangkitkan
lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan
siswa
4. Masyarakat Belajar (Learning
Community)
Ciri kelas berbasis masyarakat belajar adalah
pembelajaran dilakukan dalam bentuk kelompok-kelompok. Hasil pembelajaran
diperoleh dari kerja sama. Kelompok belajar disarankan terdiri atas peserta
didik yang kemampuannya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang sudah
tahu membimbing yang belum tahu, yang memiliki gagasan segera menyampaikan
usulnya. Kelompok belajar bisa bervariasi, baik jumlahnya, maupun
keanggotaannya, bisa juga melibatkan peserta didik di kelas atasnya.
Leo Semenovich Vygotsky, menyatakan
bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi dengan
orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan sendiri, tetapi
mebutuhkan bantuan orang lain. Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil
pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar
diperolah dari „sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar
yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi
dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran
saling belajar. Model pembelajaran dengan teknik ”Learning Community ”
sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Praktiknya dalam pembelajaran
terwujud dalam:
1) Pembentukan kelompok kecil
2) Pembentukan kelompok besar
3) Bekerja dengan kelas sederajat
4) Bekerja kelompok dengan kelas di
atasnya
5) Bekerja dengamn masyarakat
5. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan dalam
pembelajaran dilakukan dengan cara memberikan model atau contoh yang perlu
ditiru. Guru yang merasa kurang mampu membacakan puisi, atau bermain drama,
tidak perlu cemas karena guru bukan satu-satunya yang dapat dijadikan model. Guru
dapat meminta kepada teman sejawat, atau mendatangkan pihak luar, pembaca
puisi, atau pemain drama yang sudah terkenal. Dengan demikian guru pun dapat
melaksanakan pembelajaran puisi drama lewat model tadi. Demikian pula
pembelajaran menulis/mengarang kita dapat memberikan contoh-contoh tulisan yang
baik yang telah kita pilih.
Pemodelan pada
dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru
menginginkan siswanya untuk belajar dan melakukan apa yang guru inginkan agar
siswanya melakukan. Misalnya : Guru memberikan contoh bagaimana cara
mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat
asing, guru olah raga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, guru
kesenian memberikan contoh bagaimana cara memainkan alat musik, guru biologi
memberikan contoh bagaimana cara menggunakan termometer, dan lain sebagainya.
Modeling merupakan asas yang cukup
penting dalam pembelajaran kontekstual, sebab melalui modeling siswa dapat
terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang dapat memungkinkan
terjadinya verbalisme.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru
dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang baru dilakukan. Refleksi
juga merupakan tanggapan terhadap kegiatan yang baru dilakukan atau pengetahuan
yang baru diterima. Pada akhir pembelajaran, kita menyediakan waktu sejenak agar
peserta didik melakukan refleksi. Kegiatan refleksi ini diwujudkan dalam
bentuk:
a. pernyataan langsung tentang semua yang
diperolehnya,
b. catatan di buku peserta didik,
c. kesan dan saran peserta didik tentang pembelajaran
yang telah berlangsung,
d. diskusi,
e. hasil karya.
7. Penilaian yang
sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian pembelajaran
berbasis kontekstual ini dilakukan dengan mengamati peserta didik menggunakan
bahasa, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Kemajuan belajar juga dinilai
dari proses, bukan semata-mata dari hasil. Penilaian bukan hanya oleh guru,
melainkan bisa juga dari teman atau orang lain. Asesmen autentik dilaksanakan
selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung secara berkesinambungan dan
terintegrasi. Asesmen tersebut pun dilaksanakan untuk keterampilan performansi.
Penilaian nyata (Authentic
Assessment ) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan
informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini
dilakukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak; apakah
pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan
baik intelektual maupun mental siswa. Penilaian yang autentik dilakukan secara
terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara
terus-menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu,
tekanannya diarahkan kepada proses Belajar bukan kepada hasil belajar.
1.1.3 Karakteristik Prinsip Kontekstual
1) Kerjasama
2) Saling menunjang
3) Menyenangkan, tidak membosankan
4) Belajar dengan bergairah
5) Pembelajaran terintegrasi
6) Menggunakan berbagai sumber
7) Siswa aktif
8) Sharing dengan teman
9) Siswa kritis guru kreatif
10) Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa,
peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain
11) Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor
tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain.
1.2 Prinsip Fungsional
Dalam kurikulum 2004 dinyatakan bahwa tujuan
pembelajaran bahasa Indonesia adalah agar peserta didik dapat menggunakan
bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan baik dan benar. Hal ini sejalan
dengan prisip pembelajaran bahasa yang fungsional, yaitu pembelajaran bahasa
harus dikaitkan dengan fungsinya, baik dalam berkomunikasi maupun dalam
memenuhi keterampilan untuk hidup (Purnomo, 2002: 10-11).
Prinsip fungsional pembelajaran bahasa pada hakikatnya
sejalan dengan konsep pembelajaran pendekatan komunikatif. Konsep pendekatan
komunikatif mengisyaratkan bahwa guru bukanlah penguasa dalam kelas. Guru
bukanlah satu-satunya pemberi informasi dan sumber belajar. Sebaliknya, guru
sebagai penerima informasi (Hairuddin, 2000:136). Jadi pembelajaran didasarkan
pada multisumber. Dengan kata lain, sumber belajar terdiri atas guru, peserta
didik, dan lingkungan. Lingkungan terdekat adalah kelas. Lebih tegas lagi
Tarigan (dalam Hairuddin, 2000: 136) mengungkapkan bahwa dalam konsep
pendekatan komunikatif peran guru adalah sebagai pembelajar dalam proses
belajar-mengajar, di samping sebagai pengorganisasi, pembimbing, dan peneliti. Pelaksanaan
pembelajaran bahasa di kelas yang fungsional ini adalah menggunakan teknik
bermain peran.
1.3 Prinsip Integratif
Salah satu hakikat bahasa adalah sebuah sistem. Hal
tersebut berarti suatu keseluruhan kegiatan yang satu dengan yang lainnya
saling berkaitan untuk mencapai tujuan berbahasa yaitu berkomunikasi.
Subsistem bahasa adalah fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantik. Keempat subsistem ini tidak dapat berdiri sendiri.
Artinya, pada saat kita menggunakan bahasa, tidak hanya menggunakan salah satu
unsur tersebut saja. Pada waktu berbicara, kita menggunakan kata. Kata disusun
menjadi kalimat. Kalimat diucapkan dengan menggunakan intonasi yang tepat.
Dalam kaitan ini, secara tidak sadar, kita telah memadukan unsur fonologi
(lafal, intonasi), morfologi (kata), sintaksis (kalimat), dan semantik (makna
kalimat).
Berdasarkan kenyataan di atas, maka pembelajaran
bahasa hendaknya tidak disajikan secara terpisah-pisah. Pembelajaran Bahasa
Indonesia harus secara terpadu atau terintegratif. Kita mengajarkan kosa kata,
bisa dipadukan pada pembelajaran membaca, menulis, atau berbicara. Mengajarkan
kalimat, bisa kita padukan dengan menyimak, berbicara, membaca, atau menulis.
Demikianlah pula pada saat pembelajaran keempat aspek
keterampilan berbahasa disajikan, kita tidak hanya mengajarkan berbicara saja,
tetapi secara tidak langsung kita pun mengajarkan menyimak. Kegiatan berbicara
tidak dapat berlangsung tanpa ada kegiatan menyimak. Begitu pula pada saat
pembelajaran menulis atau mengarang berlangsung, akan berpadu pulalah dengan
pembelajaran membaca. Jadi jelaslah, bahwa pembelajaran bahasa Indonesia tidak
dapat disajikan secara terpisah-pisah. Pembelajaran bahasa Indonesia harus
diajarkan secara terpadu.
1.4 Prinsip Apresiatif
Prinsip apresiatif lebih ditekankan pada pembelajaran
sastra. Istilah prinsip apresiatif berasal dari kata kerja dalam bahasa Inggris
”appreciati” yang berarti menghargai, menilai, menjadi kata sifat
“appresiative” yang berarti senang (Echols dan Shadely, Hasan, 1993:35). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988:46) kata “apresiasi” berarti
“penghargaan”. Dalam buku ajar ini istilah apresiatif dimaknai yang
“menyenangkan”. Jadi prinsip apresiatif berarti prinsip pembelajaran yang
menyenangkan.
Menilik artinya tersebut berarti prinsip ini tidak
hanya berlaku bagi pembelajaran sastra, tetapi juga bagi pembelajaran aspek
yang lain, bahkan untuk mata pelajaran di luar mata pelajaran bahasa Indonesia.
Namun, karena yang menggunakan istilah ini hanya pembelajaran sastra, seperti
yang tercantum dalam Kurikulum 2004, apresiasi sastra merupakan salah satu
komponen dari standar kompetensi di SD dan MI (madrasah ibtidaiyah) yang
diintegrasikan pada aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis.
Jadi, prinsip pembelajaran yang
apresiatif berarti pembelajaran yang menyenangkan. Jika dilihat
dari artinya, prinsip apresiatif ini tidak hanya berlaku untuk pembelajaran
sastra, tetapi juga untuk pembelajaran aspek yang lain seperti keterampilan
berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Dalam hal ini
pembelajaran sastra dapat dipadukan dalam pembelajaran keempat keterampilan
berbahasa tersebut.
1.5
Contoh Penerapan Prinsip Kontekstual, Fungsional, Integratif, dan Apresiatif
dalam Pembelajaran di Kelas
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : I (satu)/1 (satu)
Waktu :
2 jam pelajaran
A. Standar Kompetensi
Mengungkapkan
pikiran, perasaan, dan informasi secara lisan melalui perkenalan, tegur sapa,
fungsi anggota tubuh, dan deklamasi.
B. Kompetensi Dasar
Menyalin puisi anak sederhana dengan huruf lepas
C. Indikator
Menyalin
puisi anak dengan huruf lepas agar terbaca orang lain dan dapat membacanya
dengan suara nyaring.
D. Tujuan Pembelajaran:
Peserta didik dapat membacanya dengan
lancar dan suara nyaring.
E. Materi Pokok
Teks sastra
“Dua Mata Saya”
dua mata saya, hidung saya satu
dua kaki saya, pakai sepatu baru
dua telinga saya, kiri dan kanan
satu mulut saya, tidak berhenti makan
F. Kegiatan Pembelajaran
1. Kegiatan Awal/Pendahuluan
a. Apersepsi: Kegiatan ini
dapat dilakukan dengan cara bertanya jawab tentang hal-hal yang berkaitan
dengan materi.
Contoh: Anak-anak siapa yang
dapat menunjukkan mata? Berapa jumlahnya? Siapa lagi yang dapat menunjukkan
kaki? Berapa jumlahnya? Mana telinga kita, ayo siapa yang dapat menunjukkan?
Kalau mulut untuk apa, ayo mana mulut, siapa yang mau menunjukkan? Iya, anak
Bapak pintar-pintar. Nah, anak-anak kita nanti menyanyi dan membaca! Mau kan?
b. Motivasi
Motivasi
dapat dilakukan dengan cara menyampaikan atau menjelaskan manfaat terampil
menyanyi dan membaca.
Umpamanya:
Anak-anak tahu tidak kalau kita pintar bernyanyi dan pintar membaca? Kalau
anak-anak pintar bernyanyi, bisa jadi penyanyi yang terkenal. Bisa nyanyi di
televisi atau di radio. Anak-anak mau kan menjadi penyanyi terkenal? Tentu mau
kan? Kalau anak-anak pintar membaca, wah anak-anak bisa menjadi penyiar acara
televisi atau radio. Mau kan, anak-anak? Ya, tentunya anak-anak Bapak mau
semua.
c. Menjelaskan tujuan pembelajaran. Jelaskanlah sesuai dengan
tujuan pembelajaran di atas!
2. Kegiatan Inti
a. Peserta didik diajak
menyanyikan lagu “Dua Mata Saya” secara bersama-sama, kelompok demi kelompok,
dan perorangan.
b. Peserta didik
memperhatikan contoh membaca teks puisi yabg diperagakan oleh guru (ekspresi
atau mimik, gerak tangan menunjuk organ tubuh sesuai dengan diksi dalam teks
lagu). Kegiatan ini dilakukan berulang-ulang.
c. Peserta didik diajak
menirukan apa yang dilakukan guru. Kegiatan ini juga dilakukan berulang-ulang,
diteruskan secara berkelompok, berpasangan dan dapat juga dilakukan secara
perorangan.
d. Kegiatan bisa diakhiri
dengan peserta didik disuruh menyalin teks puisi dengan huruf lepas yang mudah
dibaca oleh orang lain.
3. Kegiatan Akhir/Penutup
a. Kegiatan refleksi
Kegiatan
ini dilakukan dengan menanyakan kepada peserta didik apakah kegiatan
pembelajaran tadi mengasyikkan atau tidak, menyenangkan atau tidak, dsb.
b. Penegasan, dilakukan
dengan cara menjelaskan kembali tata cara membaca dengan memperagakan anggota badan
atau organ tubuh, dsb.
c. Tindak lanjut
Kegiatan
ini diisi dengan memuji keberhasilan yang sudah diraih oleh peserta didik.
Contoh: Wah, anak-anak sudah pintar membaca, berdeklamasi, dan
menulis dengan bagus. Untuk peserta didik yang sudah bagus diberi tugas berupa
pengayaan mencari nyanyian lain yang pendek. Bagi yang belum, diberi tugas
untuk belajar membaca lagi di rumah dan minta bantuan orang tua atau kakaknya.
G. Sumber/Media
Sumber: Cinta Buku Bahasa Kita IA
Halaman 82
Media: Karton bertuliskan teks
sastra berjudul “Dua Mata Saya”
H. Penilaian
Penilaian dilakukan selama proses
pembelajaran berlangsung.
Aspek yang dinilai adalah
lafal, intonasi, dan ekspresi. Bobot skor, umpamanya, untuk lafal diberi nilai
4, intonasi 3, ekspresi 3. Jumlah skor maksimum 10 (kalau rentangan 0—10 yang
digunakan)
DAFTAR PUSTAKA
Hairuddin, dkk. 2007. Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Pujiro, Makalah Prinsip Pembelajaran
Bahasa, http://pujirokhayanti999.blogspot.co.id/
2014/01/ makalah-prinsip-pembelajaran-bahasa-dan.html . Diakses pada 16 September 2015 Pukul 14.00 WIB
Vianingsih, Makalah Metode Pembelajaran
Integratif, http://tembakauasligarut.blogspot.co.id/ 2013/01/makalah-metode-pembelajaran-integratif.html diakses pada 16 September 2015 Pukul 14.00 WIB
Lulu,
Penerapan Konsep dan Prinsip Pembelajaran Kontekstual https://kirimtugas. wordpress.
com/2014/05/05/penerapan-konsep-dan-prinsip-pembelajaran-kontektual.html
Diakses pada 16 September 2015 Pukul 14.00 WIB
0 komentar:
Posting Komentar